Mengapa Motivasi Saja Tidak Akan Aenyelesaikan Masalah Anda?

Juni 06, 2016

Dalam sebuah sesi curhat, banyak yang bertanya kepada saya, "Apa yang bisa dijadikan motivasi buat melalui masa-masa yang suram ini, ya?" atau "Bagaimana caranya biar gue selalu termotivasi dalam belajar?" atau ada yang minta-minta seperti "Aku mau merantau ke Jakarta, tapi aku takut, ada motivasi gak buat aku?"



Motivasi /mo·ti·va·si/ (n) 1 dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; 2. (psi) usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya;[1]


Ketika saya ditanya demikian, saya balik bertanya “Hal apa saja yang sudah kamu lakukan?”. Sebagian besar menjawab tidak ada. Kemudian saya kembali bertanya, “Kira-kira gimana nih solusinya?” dan mereka dengan nada murung menjawab “ga tau”.

Berdasarkan Cynefin framework[2] - penemuan dari seorang ilmuwan bernama Dave Snowden[3] - terdapat 4 kategori permasalahan.


  1. Obvious atau Simple, masalahnya sederhana dan jelas, solusinya biasanya best practice yang sudah diketahui dan diterima semua orang.
  2. Complicated, di mana hubungan antara sebab dan akibat membutuhkan investigasi atau analisis dari pakar di bidang yang bersangkutan. Namun secara umum, masalah-masalah serupa sudah dipecahkan pihak lain sebelumnya.
  3. Complex, konteks masalah semakin detail, yang tidak diketahui semakin banyak. Hubungan antara sebab dan akibat mungkin tidak dapat diketahui dari awal dan baru diketahui setelah masuk menyelami masalah tersebut.
  4. Chaos, di mana tidak ada hubungan sama sekali antara sebab dan akibat.

Kebanyakan orang yang saya temui, mempunyai masalah di ranah Obvious dan Complicated di mana mereka tinggal melakukan solusi yang ada. Mereka berpola pikir “saya punya masalah, saya tau solusinya, tapi saya malas melakukannya”. Bahkan ada saja yang malas mencari tahu solusinya ketika dia tidak punya solusi atas permasalahannya. Orang-orang ini sudah terbiasa duduk diam dan disuapi oleh orang lain.

Pernahkah Anda menemukan orang yang doyan terhadap buku-buku pengembangan diri, seminar dan training pengembangan diri dari motivator ternama, namun tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan progresif dari dalam dirinya? Peminat personal development itu awalnya memang mempunyai masalah/hambatan dalam meraih tujuan hidupnya. Mereka mendapatkan pengetahuan baru dan mendapatkan pencerahan. Sensasi pencerahan itu membuat semangat dan membuat harapan untuk mengatasi masalah/hambatan hidupnya. Namun layaknya emosi dan gejolak hormon, motivasi bersifat sementara. Hal ini ditunjukkan pada data bahwa pada bulan Januari 2014, ada kenaikan hingga 46 juta orang yang memasang aplikasi fitness di AS[4], namun orang-orang hanya bertahan di tempat fitness tidak lebih dari sebulan[5]. Pada awalnya mereka memotivasi diri mereka bahwa mereka akan membentuk tubuh yang ideal sebagai resolusi tahun baru, namun ketika motivasi mereka menurun, mereka kembali ‘normal’ pada aktivitas mereka sebelum tahun baru. Hanya 8% orang-orang yang mendapatkan apa yang mereka resolusikan[6].

“Jadi gimana, dong?”

Jadikan habit alias kebiasaan. Lakukan kebiasaan-kebiasaan positif agar senantiasa berada dalam state/keadaan tersebut dengan atau tanpa motivasi. Misal ketika saya suka malas bangun pagi, alih-alih mencari cara agar saya termotivasi tiap pagi, saya justru menjadikan bangun pagi sebagai sebuah kebiasaan. Misal ketika menemui sebuah masalah, saya terbiasa untuk mencari solusinya daripada mencari motivasi agar tetap tenang dalam menghadapi masalah, karena justru akan tenang jika masalah sudah selesai dipecahkan. Buku-buku pengembangan diri berfungsi sebagai callback pengetahuan ketika solusi yang ditempuh sudah stuck.


Beri apresiasi diri. Dalam membangun sebuah kebiasaan yang baik, memberikan apresiasi diri adalah hal yang sangat penting dalam kemajuan diri. Apresiasi diri dilakukan ketika sudah melakukan kebiasaan dalam waktu yang cukup panjang. Misal, ketika sudah dapat membuat kebiasaan bangun pagi dalam sebulan, dapat diapresiasikan dalam bentuk makan di restoran mahal, bukan baru cuma dua hari lalu sudah diapresiasi.

Segera temukan solusi dan lakukan hal tersebut. Menunda-nunda penyelesaian sebuah permasalahan akan membuat pikiran-pikiran negatif mengisi otak kita. Berikan effort terhadap masalah tersebut, alih-alih menjadi pelipur lara terhadap diri sendiri. Misal, seseorang yang gagap teknologi alias gaptek akan mempunyai dua respon yang berbeda; pertama, dia akan cuek dan menyuruh orang untuk memaklumi dirinya yang gaptek yang seolah-olah mustahil buat berubah. Kedua, dia akan segera mencari solusinya dengan belajar kursus komputer atau membaca artikel atau mengutak-atik komputer selama total 100 jam dalam waktu yang telah ditentukan.



You Might Also Like

0 komentar